Foto: Sukriansyah S Latief   

" Berkunjung ke Vietnam tanpa melihat terowongan Cu Chi bisa dipastikan akan terasa sangat hambar. Inilah terowongan yang mungkin hanya kita saksikan di layar lebar film perang Hollywood. Wartawan senior Sukriansyah S Latief dengan elok menggambarkan terowongan tersebut dan memberi 'makna' bangunan yang melegenda itu sebagai sebuah 'kerja perjuangan' dari sebuah bangsa petarung. Berikut laporan jurnalistik Sukriansyah S Latief dari Saigon, Vietnam". (-red)  

Oleh: Sukriansyah S Latief    

BAYANGKAN, Anda berada di terowongan yang sempit di bawah tanah --yang berbadan besar seperti orang-orang Eropa tak bakal muat masuk, kondisi gelap, dan bau tanah yang tak sedap. Berada di sana 3 menit saja, saya tak sanggup berlama-lama, walau hanya sekadar untuk mengambil gambar, apalagi menelusuri terowongan itu. Tapi mereka, orang-orang Vietnam, bisa hidup di sana bertahun-tahun, dalam keadaan berperang pula. Bukti, mereka adalah bangsa petarung.

Itulah terowongan Cu Chi, yang terletak di Provinsi Cu Chi, sekitar 60 km di Utara Kota Saigon. Bersama rombongan wartawan Indonesia dan Singapura yang mengikuti penerbangan Lion Air ke Vietnam, kami mengunjungi Terowongan Cu Chi, yang kini menjadi obyek wisata andalan Saigon, selain Tay Ninh, My Tho, Pagoda Vinh Trang, dan Vung Tau.

Mengendarai bus wisata, yang juga menjemput beberapa wisatawan lain yang menginap di hotel yang berbeda, kami menempuh waktu sekitar satu setengah jam untuk sampai di Cu Chi. Sepanjang perjalanan tak nampak bila di daerah itu pernah terjadi perang yang maha dahsyat. Padahal, ketika itu, antara tahun 1957 dan 1975 Amerika memborbardir Vietnam, yang menyebab lebih dari 1 juta orang tewas. Tak hanya itu, semua rata dengan tanah, termasuk pepohonan, baik akibat kena bom, napalm, atau mati akibat disiram agen oranye yang sangat beracun dan mematikan.

Perang ini biasa juga disebut Perang Indochina kedua, yang merupakan bagian dari Perang Dingin. Dua kubu yang saling berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Amerika Serikat, Korea Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru dan Filipina bersekutu dengan Vietnam Selatan, sedangkan USSR dan Tiongkok mendukung Vietnam Utara yang merupakan negara komunis. Jumlah korban yang meninggal diperkirakan adalah 280.000 di pihak Selatan dan 1.000.000 di pihak Utara.

Menurut Hong, guide yang mengantar kami, perang ini juga mengakibatkan eksodus besar-besaran warga Vietnam ke negara lain, terutamanya Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Barat lainnya, sehingga di negara-negara tersebut bisa ditemukan komunitas Vietnam yang cukup besar. Setelah berakhirnya perang ini, kedua Vietnam tersebut pun bersatu pada tahun 1976. Salah satu korban paling terkenal dari Perang Vietnam adalah Kim Phuc.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Sampai di Cu Chi yang berupa hutan tempat wisata perang ini, kami pertama-tama dibawa menuju ruang diorama yang menggambarkan bagaimana bentuk terowongan bawah tanah yang panjangnya sekitar 200 kilometer, saling terkait dan mampu menampung 10.000 orang itu. Lalu kami dibawa berkeliling kawasan hutan menyaksikan terowongan, bangkai tank, diorama yang menggambarkan aktivitas para gerilyawan, seperti bengkel senjata, dapur, rumah sakit, ranjau-ranjau, dan lain-lain. Semuanya berada di bawah tanah. Saya yang mencoba untuk masuk, hanya tahan sekitar 3 menit, lalu keluar lagi. Selain bau yang tak sedap, keringat bercucuran akibat kepanasan, juga suasana yang gelap, hanya ada lampu tenteng sekitar 5 watt, membuat saya dan teman-teman yang lain urung menembus terowongan tersebut. Kekaguman saya kemudian tertuju kepada para pejuang Vietnam yang bisa hidup bertahun-tahun di terowongan itu.

Hong juga memerlihatkan kepada kami bagaimana terowongan ini dibuat sehingga sulit terlacak, bagaimana menyimpan asap supaya tidak terdeteksi, bagaimana membuat lubang hawa yang disamarkan. Ia juga menunjukkan jebakan-jebakan sederhana, namun sangat mematikan dan menyiksa. Pengunjung juga bisa mencoba menembak dengan senapan AK-47 atau senapan mesin dengan membayar 1 dolar AS untuk empat peluru. Kisah terowongan di Cu Chi bukanlah di awali pada Perang Vietnam.

Terowongan itu sudah dibangun oleh rakyat setempat sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Perancis. Ketika itu, pihak kolonial mengembangkan perkebunan karet di wilayah itu. Sebagai tenaga kerjanya, para pengelola kebun memakai kaum laki-laki dari perkampungan sekitar untuk bekerja paksa. Inilah yang akhirnya membangkitkan perlawanan rakyat Vietnam dan kebencian terhadap Perancis.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Akhirnya, sambil melakukan perlawanan, penduduk membangun terowongan-terowongan di dekat rumah mereka untuk bersembunyi bila tentara Perancis datang untuk mencari kaum pria. Memang, pada abad 19, Vietnam menjadi wilayah jajahan Perancis. Perancis menguasai Vietnam setelah melakukan beberapa perang kolonial di Indochina mulai dari tahun 1840-an.

Ekspansi kekuasaan Perancis disebabkan keinginan untuk menyaingi kebangkitan Britania Raya dan kebutuhan untuk mendapatkan hasil bumi seperti rempah-rempah untuk menggerakkan industri di Perancis untuk menyaingi penguasaan industri Britania Raya. Semasa pemerintahan Perancis, golongan rakyat Vietnam dibakar semangat nasionalisme dan ingin kemerdekaan dari Perancis. Beberapa pemberontakan dilakukan oleh banyak kelompok-kelompok nasionalis, tetapi usaha mereka gagal.

Pada tahun 1919, semasa Perjanjian Versailles dirundingkan, Ho Chi Minh meminta untuk bersama-sama membuat perundingan agar Vietnam dapat merdeka. Permintaannya ditolak dan Vietnam dan seluruh Indochina terus menjadi jajahan Perancis. Kelompok Viet Minh akhirnya mendapat dukungan populer dan berhasil mengusir Perancis dari Vietnam. Selama Perang Dunia II, Vietnam dikuasai oleh Jepang.

Pemerintah Perancis Vichy bekerjasama dengan Jepang yang mengantar tentara ke Indochina sebagai pasukan yang berkuasa secara de facto di kawasan tersebut. Pemerintah Perancis Vichy tetap menjalankan pemerintahan seperti biasa sampai tahun 1944 ketika Perancis Vichy jatuh setelah tentara sekutu menaklukan Perancis dan jendral Charles de Gaulle diangkat sebagai pemimpin Perancis. Setelah pemerintah Perancis Vichy tumbang, pemerintah Jepang menggalakkan kebangkitan pergerakan nasionalis di kalangan rakyat Vietnam. Pada akhir Perang Dunia II, Vietnam diberikan kemerdekaan oleh pihak Jepang.

Ho Chí Minh kembali ke Vietnam untuk membebaskan negaranya agar tidak dijajah oleh kekuasaan asing. Ia menerima bantuan kelompok OSS (yang akan berubah menjadi CIA nantinya). Pada akhir Perang Dunia II, pergerakan Viet Minh di bawah pimpinan Ho Chí Minh berhasil membebaskan Vietnam dari tangan penjajah, tetapi keberhasilan itu hanya untuk masa yang singkat saja. Pihak Jepang menangkap pemerintah Perancis dan memberikan Vietnam satu bentuk “kemerdekaan” sebagai sebagian dari rancangan Jepang untuk "membebaskan" bumi Asia dari penjajahan barat.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Banyak bangunan diserahkan kepada kelompok-kelompok nasionalis. Usai mengunjungi terowongan Cu Chi, tak lengkap rasanya bila tak mendatangi War Remnant Museum (Museum Peninggalan Perang) yang tak jauh dari Distrik No 1 di Kota Saigon. Di museum ini kita dapat melihat kisah tentang kekejaman tentara AS dan sekutunya semasa Perang Vietnam. Halaman museum ini dipenuhi dengan bangkai-bangkai tank, pesawat tempur, helikopter, artileri buatan AS yang disita semasa perang.

Di situ ditampilkan sejarah keterlibatan AS dalam perang saudara di Vietnam. Kekejaman AS itu digambarkan antara lain dengan statistik yang menyebutkan berapa juta ton bom yang dijatuhkan, berapa juta liter pestisida yang disiramkan untuk membunuh tanaman, pertanian, hutan dan manusia, jumlah korban. Foto-foto berbagai kekejaman tentara Amerika juga ditampilkan dalam berbagai foto hitam-putih, seperti ruang-ruang penyiksaan dan sel-sel tahanan. Kisah terowongan Cu Chi dan Museum War Remnant menunjukkan kepada kita bagaimana Vietnam melawan musuhnya. Sebagai bangsa petarung, mereka mampu mengalahkan Amerika, bahkan mempermalukannya. Jauh sebelumnya, Perancis juga diusir dari tanah air mereka. Meski begitu, perang tetaplah perang, sesungguhnya tak ada yang menang. ****

Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior